Salingsambung.com – Sekitar satu dekade yang lalu, Indonesia menjadi ladang subur bagi berbagai perusahaan ojek online (ojol), baik lokal maupun internasional. Persaingan yang ketat membuat industri ini tampak menjanjikan, dengan beragam pemain yang berusaha menguasai pasar transportasi daring. Namun, seiring waktu, satu per satu perusahaan tumbang, meninggalkan hanya segelintir nama besar yang mendominasi.
Gojek dan Grab kini menjadi dua kekuatan dominan yang menguasai industri ojek online di Indonesia. Dengan modal besar dan strategi agresif, keduanya berhasil menyingkirkan para pesaing yang tidak mampu bertahan dalam perang tarif dan promosi. Banyak pemain kecil yang mencoba bertahan dengan inovasi dan layanan berbeda, namun kenyataannya mereka tidak dapat menghadapi tekanan dari dua raksasa ini.
Sejumlah perusahaan lokal berusaha memberikan alternatif bagi masyarakat, namun akhirnya tak mampu bertahan. Call Jack, ride hailing asal Yogyakarta, dengan cepat menghilang tanpa jejak. Begitu pula dengan Ojekkoe, yang meskipun sempat memiliki 500 mitra pengemudi, akhirnya harus menyerah.
Topjek, yang menawarkan tarif murah tanpa promosi dan fitur unggulan seperti chat room, juga tidak bertahan lama. Padahal, saat peluncurannya, perusahaan ini sempat mendapat perhatian besar karena sistem seleksi ketat terhadap pengemudi. Sayangnya, strategi itu tidak cukup untuk melawan dominasi Gojek dan Grab.
Bukan hanya perusahaan lokal yang tersingkir, pemain besar dunia seperti Uber pun harus angkat kaki dari Indonesia. Masuk pada tahun 2014 dengan harapan besar, Uber justru harus menyerah dan menutup layanannya pada April 2018. Uber akhirnya menjual seluruh bisnisnya kepada Grab, membuat pengemudi Uber harus bermigrasi ke platform lain atau mencari pekerjaan baru.
Selain Uber, perusahaan seperti LadyJek, yang khusus menyediakan layanan transportasi bagi wanita dengan pengemudi perempuan, juga tidak bisa bertahan. Meskipun sempat memiliki 3.300 pengemudi dan mendapatkan respons positif dari pasar, keterbatasan modal membuat mereka gulung tikar.
Saingan terbesar Gojek dan Grab, Blujek, juga mengalami nasib yang sama. Dengan warna biru khasnya dan jumlah armada yang cukup besar, Blujek sempat menjadi pesaing potensial. Namun, tanpa suntikan modal yang memadai dan sulitnya bersaing dengan dua raksasa yang memiliki dana tak terbatas, Blujek akhirnya tumbang.
OjekArgo, yang menawarkan layanan tanpa perlu registrasi akun, juga terpaksa berhenti beroperasi sejak 2017. Konsep yang mereka usung tidak mampu menyelamatkan bisnis mereka dari tekanan dominasi Gojek dan Grab.
Kondisi ini mengarah pada pasar yang semakin tidak sehat, di mana hanya dua perusahaan yang mendikte harga dan kebijakan bagi pengemudi maupun konsumen. Dengan tidak adanya persaingan yang cukup, pengemudi kini semakin terjebak dalam sistem bagi hasil yang merugikan, sementara konsumen kehilangan pilihan alternatif yang lebih baik. Monopoli terselubung ini memberikan dampak negatif yang tidak hanya dirasakan oleh para pengusaha kecil, tetapi juga oleh pengguna layanan transportasi daring di Indonesia.
Keberadaan berbagai perusahaan ojek online seharusnya menjadi solusi bagi masyarakat, bukan sekadar ajang perang bisnis yang akhirnya hanya menguntungkan segelintir pihak. Jika tidak ada kebijakan yang mengatur keseimbangan pasar, bukan tidak mungkin industri ojek online di Indonesia akan sepenuhnya dikendalikan oleh segelintir pemain besar, tanpa ada peluang bagi inovasi dan persaingan yang sehat.