Salingsambung.com – Upaya perdamaian antara negara-negara Arab dan Israel sejak lama memunculkan pro dan kontra di dunia internasional. Mesir menjadi salah satu negara yang mengalami konsekuensi besar dari langkah tersebut. Tragedi pembunuhan Presiden Anwar Sadat pada 6 Oktober 1981 menjadi salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah politik Timur Tengah.
Peristiwa itu terjadi saat Sadat menghadiri parade militer besar-besaran di Kairo untuk memperingati kemenangan Mesir dalam Perang Yom Kippur tahun 1973. Dalam acara yang berlangsung meriah tersebut, Sadat duduk di tribun utama bersama para pejabat tinggi negara, dengan pengamanan ketat seperti biasa. Tidak ada yang menduga bahwa momen peringatan itu akan berubah menjadi tragedi nasional.
Ketika iring-iringan kendaraan militer melintas di depan tribun kehormatan, sebuah truk berhenti mendadak. Seorang perwira turun dari truk dan memberi hormat kepada sang presiden. Sadat membalas hormat itu dengan berdiri. Namun, hormat tersebut ternyata menjadi awal dari serangan mematikan. Beberapa detik kemudian, tiga granat dilemparkan ke arah tribun, disusul rentetan tembakan senjata otomatis. Suasana berubah menjadi kepanikan, dan Sadat tersungkur bersama sejumlah pejabat lainnya.
Presiden segera dilarikan ke rumah sakit untuk menjalani operasi darurat. Namun, nyawanya tidak dapat diselamatkan. Pada hari yang sama, Anwar Sadat dinyatakan meninggal dunia akibat luka tembak parah.
Penyelidikan mengungkap bahwa otak di balik serangan tersebut adalah Letnan Khalid Islambouli, anggota kelompok radikal Jihad Islam Mesir. Kelompok ini menolak keras kebijakan Sadat yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel. Mereka menilai langkah tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan bangsa Arab dan Palestina.
Mesir sendiri sebelumnya dikenal sebagai negara yang sangat vokal menentang zionisme. Sejak berdirinya Israel pada 1948, Mesir beberapa kali berperang melawan negara tersebut, termasuk dalam Perang Yom Kippur tahun 1973. Namun, pandangan Anwar Sadat berubah beberapa tahun kemudian. Ia menilai peperangan hanya membawa penderitaan, sementara perdamaian membuka peluang bagi kemajuan dan stabilitas kawasan.
Pada 26 Maret 1979, Sadat menandatangani Perjanjian Damai Camp David dengan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin, yang disaksikan langsung oleh Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter. Kesepakatan tersebut menjadikan Mesir sebagai negara Arab pertama yang menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Israel.
Namun, keputusan berani itu menimbulkan gelombang protes besar di dalam negeri. Banyak pihak menilai kebijakan tersebut terlalu lunak terhadap Israel. Tekanan datang dari berbagai kalangan, terutama militer dan kelompok agama konservatif. Dari sinilah muncul gerakan Jihad Islam Mesir yang kemudian berujung pada pembunuhan Sadat.
Khalid Islambouli dan sejumlah pelaku lainnya berhasil ditangkap di lokasi kejadian. Pengadilan militer menjatuhkan vonis mati kepada Islambouli, dan hukuman itu dieksekusi pada 15 April 1982. Meski demikian, aksi tersebut meninggalkan luka mendalam bagi Mesir dan dunia Arab.
Tragedi ini menjadi simbol betapa sulitnya mewujudkan perdamaian di kawasan Timur Tengah. Langkah diplomatik yang bertujuan membawa stabilitas justru berujung pada kekerasan dan perpecahan di dalam negeri. Hingga kini, peristiwa tersebut masih menjadi pelajaran penting tentang risiko politik di balik setiap upaya perdamaian.
