Salingsambung.com – Generasi Z atau Gen Z kini tercatat sebagai kelompok yang paling banyak memanfaatkan kecerdasan buatan (AI), khususnya ChatGPT, untuk berkonsultasi mengenai arah karier mereka. Temuan ini berasal dari sebuah studi yang dilakukan oleh Southeastern Oklahoma State University. Menariknya, hanya sekitar 3 persen responden yang menyatakan menyesal telah mengikuti saran dari teknologi tersebut.
Laporan itu mengungkap bahwa lebih dari separuh warga Amerika sedang mempertimbangkan untuk mengubah jalur pekerjaan mereka. Gen Z terlihat menjadi penggerak utama dengan persentase 57 persen, mengungguli generasi milenial yang berada di angka 55 persen serta Gen X sebesar 50 persen. Fakta ini menunjukkan bagaimana generasi muda berusaha mencari peluang baru agar dapat bertahan di pasar kerja yang semakin kompetitif.
Studi tersebut juga menyoroti bahwa 42 persen profesional muda mengandalkan bantuan AI dalam menentukan pilihan karier. Angka ini lebih tinggi dibandingkan 34 persen milenial, 29 persen Gen X, dan 23 persen baby boomer. Penggunaan ChatGPT oleh Gen Z tidak hanya terbatas pada proses awal memilih jalur kerja, tetapi juga berlanjut pada tahap pencarian hingga persiapan saat memasuki dunia kerja.
Lebih lanjut, satu dari tiga orang Amerika diketahui menggunakan teknologi AI untuk membantu pengambilan keputusan terkait karier, mulai dari pertimbangan pindah pekerjaan hingga strategi menghadapi wawancara. Sekitar 43 persen bahkan memanfaatkan ChatGPT untuk menulis resume dan surat lamaran, sementara 28 persen menggunakannya sebagai alat eksplorasi peluang kerja baru. Selain itu, 19 persen responden menyatakan mengandalkan AI dalam mengidentifikasi posisi yang memiliki permintaan tinggi dan potensi gaji besar.
Di sisi lain, perkembangan penggunaan AI justru bersamaan dengan tren penurunan perekrutan tenaga kerja, khususnya lulusan baru di sektor teknologi. Berdasarkan laporan dari perusahaan modal ventura SignalFire, rekrutmen fresh graduate di 15 perusahaan teknologi besar anjlok lebih dari 50 persen sejak 2019. Jika sebelum pandemi lulusan baru menyumbang sekitar 15 persen dari total penerimaan, kini jumlah tersebut merosot hingga hanya 7 persen.
Situasi itu mencerminkan tantangan nyata yang dihadapi generasi muda dalam memasuki dunia kerja. Persaingan semakin ketat seiring banyaknya perusahaan melakukan pengurangan karyawan akibat otomatisasi dan restrukturisasi bisnis. Akibat kondisi tersebut, survei menemukan bahwa 77 persen pencari kerja meminta bantuan orang tua mereka, mulai dari mendampingi saat wawancara, menegosiasikan besaran gaji, hingga membantu mengatasi konflik di lingkungan kerja.
Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran pola adaptasi generasi muda dalam menghadapi dunia kerja. Jika sebelumnya konsultasi karier lebih banyak dilakukan melalui mentor, konselor, atau jaringan profesional, kini AI menjadi salah satu rujukan utama. Meski demikian, tantangan tetap ada karena tidak semua rekomendasi teknologi dapat diikuti tanpa pertimbangan matang.
Studi ini sekaligus membuka ruang diskusi mengenai sejauh mana generasi muda dapat memadukan teknologi dengan keterampilan interpersonal mereka. Kehadiran AI terbukti memberi nilai tambah dalam persiapan memasuki dunia kerja, tetapi tetap dibutuhkan kemampuan kritis dan fleksibilitas agar dapat bertahan di tengah dinamika pasar tenaga kerja global.